Ilustrasi|google.com |
BANDA
ACEH - Sejak 2014 hingga April 2015, secara nasional data Kementerian Agama
berdasarkan dari kasus pernikahan yang terjadi Makamah Syari’ah Aceh, 10 persen
diantaranya berakhir dengan perceraian. Dari angka itu, 70 persen diantaranya perceraian diajukan
pihak istri, sementara 80 persen penyumbang terbesar perceraian adalah pasangan
muda dengan usia perkawinan dibawah 5 tahun.
Bicara
masalah perceraian memang tidak ada habisnya, hampir setiap tahun jumlah
perkara perceraian selalu meningkat di Aceh, mulai dari perkara talak hingga
cerai gugat oleh istri kepada suami. Dan perkara cerai gugat oleh istri kepada
tsuami tetap masih menjadi primadona di Aceh, Seperti halnya yang terjadi di Kabupaten
Bireuen, Aceh Tengah, dan juga Pidie.
Pada
2014 untuk Kabupaten Bireuen ada sebanyak 252 kasus istri menggugat suami,
sedangkan kasus istri menggugat suami hanya 127 perkara begitu juga halnya di Kabupaten Aceh Tengah
yang merupakan kabupaten tertinggi
tingkat perceraian di Aceh.
Terhitung
sejak 2013 hingga April 2015 ada 800 lebih kasus cerai yang masuk ke mahkamah
Syari’ah dengan rincian 378 kasus pada 2013, pada 2014 ada 421 kasus ,dan 2015 yang
tercatat Januari hingga April, ada 167 kasus. Hal ini disebutkan, Ketua
mahkamah Syar’iyah, M.Yacob Abdullah, melalui pesan singkat yang dikirimkannya
beberapa waktu lalu, saat di tanyai tentang
berapa banyak kasus perceraian di Aceh Tengah dan apa penyebabnya.
Dengan adanya peninggkatan kasus
perceraian di setiap kabupaten/kota di Aceh, maka secara otomatis angka
perceraian secara keseluruhan di Provinsi Aceh meningkat setiap tahunnya fakta
ini terlihat dari data yang di peroleh media ini, nyakni pada 2013 jumlah kasus
perceraian di Aceh mencapai 6.385 kasus, dann pada 2014 jumlah tersebut kembali
naik drastis mencapai 7.196 laporan perkara perceraian.
Dari jumlah ini yang telah diusut
sebanyak 6.166 perkara, sedangkan 1.040 perkara lainnya menjadi sisa akhir
tahun. Staf bagian hukum Mahkamah Syar'iyah Aceh, Nurdin mengatakan, jumlah ini
meningkat dari tahun sebelumnya.
“Pada
2013 terhitung Januari hingga Desember ada 6.385 kasus perceraian. Artinya
lebih sedikit dari 2014. Untuk 2015 datanya belum semuanya masuk ke Mahkamah
Syari’ah Aceh,”ujar Nurdin saat di hubungi melalui telpon selular miliknya
pada 30 juni 2015.
Berdasarkan
data yang diperoleh selama 2014 (dari Januari hingga Desember), kasus cerai talak sebanyak
1.146 kasus, cerai gugat 2.978 kasus, penetapan ahli waris 428 kasus, isbath
nikah 1.311 kasus, dan kasus lainnya. Sedangkan pencabutan kasus tercatat 580
kasus.
Penyebab
tingginya angka perceraian ini kata Nurdin terjadi karena banyak faktor.
Seperti krisis moral, tidak ada tanggung jawab, penganiayaan, kekejaman mental,
cacat biologis dan poligami tidak sehat.
Faktor
lainnya seperti cemburu, kawin paksa, permasalahan ekonomi, kawin di bawah umur
dan tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga. Bahkan faktor politik dan
adanya pihak ketiga juga menjadi faktor dalam hal ini. Namun yang paling sering
katanya terjadi akibat tidak adanya keharmonisan dan tidak adanya tanggung
jawab dalam keluarga.
Agar
terhindar dari retaknya rumah tangga, saran Nurdin diperlukan pengetahuan
mengenai ilmu agama dari kedua pasangan. “Bagi suami maupun istri hendaknya
memiliki pemahaman ilmu agama dalam hidup berkeluarga, supaya dapat membangun
keluarga yang bahagia. Apalagi penyebab perceraian terbanyak karena tidak ada
kerharmonisan dan tidak ada tanggung jawab,”sarannya.
Sementara
untuk daerah-daerah yang paling tinggi kasus perceraian dijabarkan yaitu
Takengon 828, Lhoksukon 624 kasus, Banda Aceh 504 kasus, Bireuen 515 kasus,
dan Pidie 497 kasus. Untuk kasus perceraian terendah ada di Sabang dengan 64
kasus, Singkil 84 kasus, dan Sinabang 94 kasus.
Peningkatan
data perceraian setiap tahunnya terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia
tidak terkecuali Aceh, maka wajar ketika Indonesia dinyatakan merupakan salah
satu negara dengan tingkat perceraian yang cukup tinggi bahkan tergolong besar
di dunia dan ini menjadi PR bagi pemerintah.
Tingginya
angka statistik perceraian di Indonesia dan Aceh khususnya, merupakan data dan fakta yang harus diterima
walaupun pahit sembari mencari cara dan strategi terbaik guna mencegah
terjadinya perceraian sejak dini. (Fitri
Juliana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar