Opini


Menikah Muda, Antara Ambisi, Tradisi atau Gengsi?
Oleh Nanda Satria (Ketua Himagio Periode 2012-2013)

Menikah adalah sebuah perjanjian suci antara seorang laki-laki dan perempuan, menikah juga merupakan sebuah ibadah yan dianjurkan oleh Allah SWT. Pernikahan memiliki tujuan yang sangatmulia yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Namun ada beberapa fakta yang sangat unik terjadi dalam kehidupan saat ini yaitu semakin banyaknya remaja yang berlomba untuk bisa menikah pada usia muda. Ada yang menikah selesai menamatkan SMA bahkan SMP, maupun SD. Dan apakah itu merupakan ambisi untuk bisa menjadipanutan, atau kah hanya sebuah tradisi yang sudah terjadi turun temurun atau malah gengsi karena melihat teman sebayanya sudah menikah dengan menampakan foto berselfie dengan si buah hati? Tetapi apakah mereka (remaja) mengerti makna ber-rumah tangga itu sendiri?

Menurut data SDKI 2012, angka pernikahan dini pada umur 15-19 tahun di perkotaan meningkatmenjadi 32%. Bila dibandingkan dengan 5 tahun sebelumnya angka pernikahan dini pada umur 15-19 tahun hanya 26%. Fenomena ini justru berbanding terbalik dengan yang terjadi di pedesaan,dimana pada 2012 angka pernikahan dini menurun menjadi 58%, jika dibandingkan dengan 5 tahun sebelumnya yang mencapai angka 61%.  Nah dari data itu, muncul pertanyaan apa sebenarnya yang membuat remaja begitu tertarik untuk menikah di usia dini?

Apabila pernikahan pada usia muda ini merupakan sebuah ambisi yang sangat besar, merasa sudah siap untuk bertanggung jawab bahkan sudah matang dalam segi fisik maupun non-fisik bukanlah masalah bagi mereka untuk segera menikah. Toh pada dasarnya agama juga tidak pernah melarang seseorang untuk menikah diusia muda, yang ada hanyalah menikah bagi yang sudah balighdan mampu, agar bisa mencegah perbuatan zina.

Disisi lain ada juga sebagian masyarakat yang menikah pada usia muda karena faktor paksaan dari orang tua, meskipun hal semacam ini terjadi pada zaman Siti Nurbaya namun masih ada beberapa daerah di Indonesia yang masih menjalankan tradisi ini. Entahlah apakah ini memang tradisi yang sudah diwariskan turun temurun oleh nenek moyang mereka atau memang ala Siti Nurbaya karena memiliki hutang dan si anak menjadi taruhannya atau bahkan karena kondisi ekonomi keluarga yang mengharuskan si anak untuk menikah usia muda dengan harapan bisa hidup bahagia oleh pasangannya dan mengurangi beban si orang tua.

Tanpa kita sadari pengaruh acara acara di TV  dan media elektornik yang semakin cangih juganmepengaruhi pernikahan usia muda, lihat saja belakangan ini banyak artis yang menikah muda bahkan ada yang disiarkan secara langsung di beberapa stasiun TV dan hasilnya sudah bisa ditebak para remaja pun terhipnotis untuk mengikuti tren itu. Selain itu fenomena yang paling sering terjadi pada remaja yang menikah muda adalah hamil di luar nikah atau dalam bahasa baratnya di namakan married by accident.

Di era sekarang pacaran bukanlah sesuatu yang asing lagi, meski dalam Islam melarang hal demikian karena akan mendekati zina. Namun  di kalangan anak muda kalau enggak pacaran itu hidup terasa hambar semacam sayur tanpa garam, dan astagfirullah, malah tak sedikit orang tua yangmendorong anaknya untuk pacaran. Jadi bukan sebuah keheranan lagi apabila banyak pernikahanmuda disebabkan hamil di luar nikah, jika sudah demikian tentu keluarga ingin menutup aib dengan menikahkan anaknya walaupun masih belia.

Akibatnya, sangatlah membahayakan bagi seorang perempuan yang masih sangat muda sudah melahirkan, karena di masa itu tingkat emosionalnya masih labil dan organ reproduksinya juga belum kuat untuk melahirkan. Ini juga yang menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu saat melahirkan dan begitupun dengan bayi yang dilahirkannya.

Selain hamil di luar nikah gengsi karena takut tidak laku atau gengsi melihat teman teman sebayanya yang sudah menikah, membuat seseorang menomorduakan keselamatan dan kesehatannyareproduksinya untuk bisa menikah muda. Meskipun, mayoritas pernikahan pada usia muda  biasanya akan berujung pada perceraian, kekerasan dalam rumah tangga hingga menjadi faktor penyumbang angka kematian ibu akibat persalinan yang terlalu muda, namun itu semua hanya menjadi angin lalu bagi sebagian remaja yang sedang berada pada tekanan asmara. (*)


Pembudayaan NKKBS dan Perilaku Hidup Berwawasam  Kependudukan  dalam Pembangunan
Oleh Drs. H. Luthfi A. Aziz
Wk. Ket PJK Aceh

I.                   Permasalahan Penduduk
Penduduk adalah faktor penentu-dominan (determinant factor) dalam pembagunan diseluruh dunia. Kekayaan alam dan potensi lingkungan adalah factor pendukung, karena dia bukan factor penentu keberhasilan/kegagalan pembagunan. Penduduk yang besar dengan kualitas rendah dapat menjadi beban pembagunan Negara, sebaliknya jumlah penduduk kecil tetapi dengan kualitas tinggi dapat menjadi pengatur kehidupan dunia.

Jumlah penduduk Indonesia hasil Sensus Penduduk (SP) 2010, sekitar 240 juta jiwa. Keadaan itu telah menimbulkan berbagai komentar dari para ahli demografi dan pejabat yang peduli masalah kependudukan di Indonesia.  Pada umumnya ada kekhawatiran  dengan pertumbuhan penduduk yang dari 1,45 % pada tahun 2000, naik menjadi 1,49 % pada 2010, memiliki pengaruh besar terhadap pertambahan penduduk Indonesia. Padahal BPS 1993 memproyeksikan penduduk Indonesia akan berjumlah 232,4 juta jiwa pada 2010 dan 237,8 juta jiwa pada 2015.

Kenyataannya jumlah tersebut sudah dicapai 5 tahun lebih cepat sehingga ada yang berpendapat program KB dianggap gagal memenuhi selama 10 tahun terakhir. Tahun 2015 diperkirakan penduduk Indonesia sekitar 255-256 juta jiwa, atau tiap tahun bertambah sebesar 2,5 hingga 3,7 juta. Pertambahan penduduk yang cepat menyebabkan kelipatannya semakin pendek, baik karena angka kelahiran maupun tambah usia Lansia sejalan dengan peningkatan harapan hidup penduduk.

Keadaan itu akan mejadi beban berat bagi pembangunan terutama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat agar bisa adil dan merata, semakin sulit bagi Indonesia untuk dicapai bila distribusi kesejahteraan rakyat yang adil, makmur, dan merata seperti diamanatkan UUD 1945 tidak diusahakan dengan sungguh-sungguh. Apalagi bila dicermati kebijaksanaan pemerintah sekarang lebih cenderung memecahkan gejala symptomatic melalui tindakan kuratif dari pada langkah preventif yang bersifat kausatif.

Banyak pejabat BkkbN mengatakan,  bahwa hambatan utama penurunan angka kelahiran 14 tahun terakhir, karena otonomi daerah. Program KB diserahkan ke Pemda kab/kota sehingga otoritas program tidak lagi ditentukan secara vertikal dari pusat tetapi diserahkan pada kebijakan kearifan lokal daerah. Kepentingan politik dan daerah agaknya lebih dominan dalam periode 14 tahun terakhir daripada kepentingan rakyat dan nasional. Karena itu ada partai politik yang menolak program KB bahkan promosi banyak anak.

Melihat hal di atas, kebijaksanaan otonomi daerah bukan satu-satunya penyebab lemahnya program KB dalam upaya mengendalikan laju pertumbuhan penduduk melalui upaya menekan angka kelahiran. Ada beberapa factor lain juga ikut berpengaruh, baik bersifat makro maupun mikro, internal maupun eksternal BkkbN, antara lain sebagai berikut:
1.      Faktor Eksternal.
Sejak tahun 2000, program KKB tidak lagi masuk skala prioritas dalam strategi pembangunan nasional. Agenda utama reformasi adalah perubahan system politik, pemerintahan, dan hukum. Pembagian kewenangan antara eksekutif, legeslatif, yudikatif, dan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi skala prioritas.

Bahkan pada 2003, Wakil presiden RI waktu itu melontarkan gagasan agar KB dan BkkbN dibubarkan saja. Untungnya,  DPR tidak setuju, sehingga pikiran itu tidak jadi diputuskan. Dalam agenda pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (2009-2014), masalah KKB tidak masuk skala perioritas, meskipun Presidennya dari TNI dan anak mantan Ka. BkkbN Kab. Pacitan 1980-an.

 Program KB hanya bagian dari bidang kesehatan, artinya terbatas pada pelayanan medis teknis karena kesehatan adalah sektor pelayanan KB-Kesehatan sudah pernah terpola pada kegiatan terpadu yang disebut Posyandu, namun kini sudah beda, upaya penanaman nilai dan norma sikap dan perilaku KKBS tidak dianggap penting. Akibatnya tidak semua Pemda memasukkan program KB sebagai prioritas penting sesuai RPJM 2009-2014. Padahal pernah program KB satu dari delapan variabel kesuksesan penjabat pemerintahan provinsi/kab/kota.

Pemerintah daerah lebih berorientasi jangka pendek dan bagimana menambah APBD daripada memberikan pelayanan kepada public agar PAD bertambah. Kalau BPS dan BPN masih tetap vertical, mengapa BkkbN tidak? Mungkinkah itu adalah ekses dari kebijaksanaan politik tahun 1993 dan seterusnya sehingga BKKBN dianggap pula sebagai instansi perambah  kewenangan instansi lain?

2.      Faktor Internal.
Pimpinan BkkbN Pusat di awal tahun 2000 dijabat politisi, sedang lembaga ini non-kementerian yang seharusnya menjadi jabatan karier PNS. Pengaruhi kepentingan politik sangat terasa ketika tenjadi mutasi penjabat karier dengan nuansa politik.

Di semua lini kriteria kemampuan professional berubah menjadi kedekatan politik, sehingga koordinasi program KB dialihkan dari Menko Kesra ke Kesehatan. Konsep NKKBS diganti dengan Keluarga Berkualitas sehingga jumlah bukan ukuran keberhasilan program KB.

Bidang yang menjadi domain kesehatan dan BNN dikerjakan oleh BkkbN sehingga program KB tidak fokus pada family planning dan beyond family planning, seperti di era 1970-1993 yang lalu. Organisasi BkkbN terus ditambah jadi tambun, mulai eselon II ke bawah sehingga koordinasi antar unit kerja dilingkungan internal makin sulit.

Perubahan paradigma itu merupakan titik balik yang sangat berpengaruh terhadap posisi dan kinerja program KB dan BkkbN dalam 14 tahun terakhir. BkkbN adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen atau LPND, sekarang lembaga pemerintah non kementerian atau LPNK yang memiliki sifat dan jenis pekerjaan yang memerlukan koordinasi sosial antar instansi pemerintah dan lembaga sosial kemasyarakatan dan agama.

BkkbN harus lebih fokus untuk menurunkan angka kelahiran ditinjau dari aspek medis maupun sosial budaya serta agama yang dikoordinasikan oleh Menko Bidang Kesra, seperti tahun 1970-2003.

3.      Faktor Kerjasama dan Koordinasi
BkkbN adalah badan koordinasi, karena itu salah satu kunci keberhasilan program adalah bagaimana sistem dan mekanisme koordinasi itu diselenggarakan? Mekanisme kerjasama koordinasi yang dibangun sejak 1970 dengan membentuk/mengaktifkan unit-unit  pelaksana program KB perlu ditata/diintensifkan lagi, mulai dari tingkat nasional sampai ke tingkat lapangan.

Unit pelaksana ada yang mewakili kementerian, ada yang mewaliki kelompok sosial masyarakat termasuk keagamaan. Suasana, iklim, budaya kerja, dan orientasi petugas/pejabat pemerintahan sudah berubah. Oleh karena itu, BkkbN harus dapat memilah dan memilih potensi mitra yang dapat mendukung pelaksanaan program KB terutama untuk menanamkan NKKBS. Untuk pelayanan teknis kontrasepsi, kerjasama dengan Puskesmas, TNI, Polri, IDI, dan IBI mutlak diperlukan.

Sedang untuk penerimaan konsep NKKBS kerjasama dengan organisasi keagamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah, KWI, PGI, Hindu Bali, Konghucu, KNPI, Walubi, PGRI dan Perguruan Tinggi perlu dilakukan. Koalisi Kependudukan Parlemen, Pusat Studi Kependudukan di PT, PKBI, PKK dan sebagainya harus difasilitasi untuk pembudayaan PHBK dan NKKBS, termasuklah PJK di dalamnya. 

II.                PHBK dan NKKBS
Dengan disahkannya UU No. 52/2009  sebagai penganti UU No. 10/1992, BkkbN sedikit berganti nama menjadi Badan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga meskipun kata koordinasi hilang, tetapi tugas fungsi utama BkkbN tetap mengkoordinasikan kebijakan dan program. Bahkan dengan landasan hukum tersebut, kependudukan kembali disatukan dengan KB.

Kependudukan memiliki komponen; fertilitas, mortalitas, dan perkawinan kuantitas, kualitasa, mobilitas/migrasi yang selanjutnya harus ditunjang oleh pencatatan dan administrasi penduduk yang uptodate dan akurat. Kalau KB norma yang ingin disosialisasikan sebagai landasan adalah Keluarga Kecil, Bahagia Sejahtera (NKKBS) sebagai suatu persepsi, sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap warga Negara terutama generasi muda (calon PUS & PUS), maka untuk masalah kependudukan adalah PHBK (Perilaku Hidup Berwawasan Kependudukan). Suatu nilai atau norma yang sudah disepakati dalam ICPD, cairo 1994 yang disebut people or population-centered Development’.

Bahwa penduduk adalah kekayaan real (nyata) suatu Negara. Penduduk yang berkualitas akan mejadi modal pembagunan, tetapi penduduk yang besar dengan kualitas rendah merupakan beban bagi pembagunan suatu Negara. Untuk konkritnya PHBK adalah pandangan, sikap dan perilaku yang responsif, rasional dan bertanggung jawab terhadap pemecahan maslaah kependudukan dalam rangka membagun SDM yang berkualitasbagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara.

Responsif artinya memiliki sensitifitas dan tanggap bertindak, rasional dengan menggunakan analisa data dan akal sehat, dan bertanggung jawab artinya jjjangan menyalahkan pihak lain sebelum koreksi diri sendiri. Apabila lebih dari 67 % penduduk tinggal di Jawa yang memiliki 7 % dari luas daratan Indonesia, maka migrasi ke luar Jawa tertutama Indonesia Timur dan Aceh harus diciptakan suasana kondusif untuk itu, ketika mayoritas keluarga suka memiliki anak banyak, maka sikap dianjurkan untuk berkeluarga kecil, bila kondisinya banyak keluarga tidak ingin punya anak, maka promosi punya anak harus ditingkatkan.


Bertanggung jawab artinya jangan hanya bisa melahirkan tetapi tidak bisa merawat kesehatan jasmani dan rohani anak, pendidikan, penyiapan keterampilan anak agar bisa hidup mandiri, tidak jadi baban masyarakat dan Negara kelak.  Dalam kondisi sekarang yang dihadapi Indonesia maka konsep PHBK dan NKKBS berjalan saling mendukung dan mengisi satu sama lain, tetapi kalau kondisinya sudah seperti warga Eropa atau Singapura maka PHBK tetap diperlukan tetapi NKKBS tidak perlu diurus pemerintah lagi.  



Pendidikan Seks di SD Sudah Kah  Diperlukan?
Oleh: dr Mohd Andalas SpOG

dr Mohd Andalas SpOG
Akhi-akhir ini kasus kekerasan seksual pada anak semakin marak diberitakan di berbagai media di tanah air maupun lokal. Mulai dari modus operasinya hingga para pelakunya yang dulu dari kalangan keluarga terdekat, tetangga, tenaga pendidik, dan  akhir-akhir ini bergeser ke tenaga kebersihan dan malah sampai oknum kepolisian.

 Selama ini diskusi terkait kesehatan reproduksi atau seksual yang berhubungan alat kelamin wanita dan perempuan sering dihubungkan dengan maraknya kehamilan tak dinginkan dan meningkatnya aborsi dikalangan remaja. Tetapi pada era sekarang ini pembahasan masalah ini justru dilakukan pasca meningkatnya kekerasan seksual pada anak.

Heboh  terkait tentang seks bebas di kalangan remaja hal tingginya angkanya,  pernah berhubungan intim sebelum waktunya, pernah terjadi ketika release sebuah hasil penelitian beberapa waktu lalu, pasca disiarkan hasil penelitian tersebut  para orangtua kaget kok bisa ya karena tidak terbayangkan dalam pikiran mereka akan hal tersebut. Konon lagi dari hasil penelitian tersebut juga terungkap tentang remaja hamil diluar nikah.

Cerita hasil survey tersebut  kembali  dipaparkan Perkumpulan Ke­luarga Berencana (PKBI) Indo­nesia cabang Yogja, pada sebuah seminar di Yogja pada February lalu. Pengalaman saya dalam praktik juga mendapat kasus-kasus  re­maja  hamil diluar nikah, dan ma­lah ada terjadi pada anak sekolah  pasantren.

Siapa yang harus  bertanggung jawab?
Bila dilihat dari jalur pendidikan  dan terkait  kegiatan pembelajaran terkait alat reproduksi laki dan perempuan,  maka asumsi kita kegiatan tersebut menjadi domain departemen pendidikan, tapi apakah demikian?

Pernah juga ada  berita yang menghebohkan, waktu itu ada buku pelajaran dibagikan ke siswa sekolah dasar  yang di dalamnya memuat mekanisme proses reproduksi, dan hal tersebut dicecar habis oleh para tokoh pendidikan dan agama yang merasa belum pantas mekanisme proses reproduksi itu berada di dalam buku pelajaran SD dan  diminta segera ditarik.

Terkait hal tersebut, dari data yang dikeluarkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada 2013 ada sekitar 2.792 kasus pelanggaran anak di Indonesia dan 730 kasus diantaranya adalah kekerasan seksual pada anak. Kecenderungan kasus  terulang semakin meningkat apalagi bila upaya  preventive tidak dilakukan.

Juga bila dilihat dari ancaman pidana bagi pelaku kejahatan kekerasan anak masih relative ringan. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hukuman bagi pelaku kekerasa kepada anak dijerat hukuman selama 5 sampai 15 tahun penjara.

Tentu hukuman ini bagi keluarga korban dianggap terlalu ringan dan meminta agar  Undang Undang Nomor 32 tersebut  direvisi. Lalu, bila dilihat dampak ‘hebat’ bagi korban aksi kekerasan seksual, bukan hanya  ganguan anatomi tubuh atau alat reproduksinya, tetapi juga dampak psikologis. Dimana korban menjadi depresi berat, dan hal ini menjadi beban berat bagi  keluarga dan korban.
Lalu siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab mencari solusi terkait pembelajaran pengenalan awal alat reproduksi pada murid sekolah dasar. Berkaitan semakin tinggi kasus kekerasan seksual kepada anak? Sebab bila terlambat sangat berisiko bagi kelompok rentan tersebut.

Sudah menjadi tanggung jawab bersama kiranya bagi semua pihak, baik itu pemerintah, keluarga, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.  Selama ini  masih   terjadi berbeda penafsiran para tokoh, dengan asumsi  bila  terlalu awal mengajarkan  alat reproduksi pada anak  SD, maka resikonya anak-anak tersebut jadi tahu dan suatu saat mereka salah penggunaan atau mengaplikasikannya.

Para pengamat pendidikan Kespro berpendapat lain, menurut mereka dengan diajarkan lebih awal tentang alat kelamin dan fungsinya, maka mereka tahu dan anak bisa menjaga alat reproduksi mereka dari oknum yang ingin mengeksploitasi alat Kespronya.

Bagaimana mencegahnya?
Pemerintah kita tentu harus berpikir positif, yakni bagaimana bisa mencegah terjadi kekerasan seksual pada anak terlebih di era globalisasi ini, dimana kemudahan mengakses informasi visual.

Saran penulis, para ulama  dan tokoh masyarakat, psikolog, dan para  pakar terkait kesehatan reproduksi untuk memberi masukan terhadap upaya pencegahan ini. Pemikiran-pemikiran yang negatif selama ini perlu direstorasi kembali, misal takut bila terlalu diajar, padahal keberhasilan  di negara maju harusnya menjadi tolak ukur pemikiran kita, tentu dengan pola pengajaran yang terukur dan sesuai syariah.

Banyak hal yang dilakukan oleh beberapa negara maju, mereka telah mengajarkan hal-hal yang sangat privasi ini bagi orangtua dan anak-anak didiknya, misal diberikan instruksi kalau ada orang yang ingin menggangu alat kelaminnya, si anak berteriak, menggigit atau bermacam cara lainnya. Sehingga sang anak telah diberitahu sesuai tingkat pemahamannya bahwa alat reproduksi/alat kelaminnya tidak boleh disentuh oleh orang lain, kecuali  orangtuanya. 

Harus juga  terjadi komunikasi/interaksi yang baik antar orangtua dengan pendidik dan orang lainnya yang ada dalam lingkungan seharian anak kita, jangan menyerahkan secara total anak pada sekolah tanpa pengawasan  orangtua sendiri. Dengan ada interaksi, para orangtua bisa mengetahui dini, bila ada sesuatu perubahan pada anaknya.


Diharapkan dengan adanya pendidikan seks sejak dini, semoga  kejadian kekerasan seksual pada anak bisa menurun dan atau tidak  ada lagi kasusnya,  khususnya di negeri syariah Aceh. (*)


Konseling Bukan Membuka Aib Tapi Gaya Hidup 
Saniah LS

Oleh Saniah Ssos
(Penulis adalah relawan di PPKS Bungong Jeumpa dan juga seorang freelance journalist di media cetak nasional dan lokal

Sering kita merasa tidak dicintai, tidak dihargai, tidak dimengerti, dan terjebak dalam situasi seperti benang kusut yang membuat kita lelah lahir batin. Hingga membuat kita merasa stress dan akhirnya “diam” dengan masalah yang dihadapi.

Jika sudah demikian maka yang dibutuhkan adalah konseling. Konseling bukanlah curhat melainkan sebuah terapi lewat percakapan kondusif yang dibangun dan dituntun oleh konselor profesional sehingga Anda menyadari apa yang terjadi dalam diri Anda, apa yang menyebabkan Anda merasa, berpikir, dan bertingkah laku sedemikian untuk realita hidup yang Anda hadapi. 

Konseling kata beberapa psikolog termuka di Indonesia merupakan suatu proses terapi melalui percakapan yang kondusif dengan didasari oleh kejujuran dan niat baik dari kedua belah pihak yang bertujuan membantu Anda melihat persoalan yang sedang dihadapi secara lebih jelas. 

Nah di sini, para konselor profesional akan menuntun Anda melalui proses berpikir konstruktif, realistis dimana paradigma berpikir Anda mengalami pembaruan, terjadi perubahan kognitif dan dituntun secara jangka panjang untuk mengalami perubahan behavorial.

Tujuan akhirnya, Anda akan menemukan dan menyadari tentang siapa Anda dan bagaimana cara yang lebih bijak Anda lakukan untuk menyelesaikan persoalan yang sedang Anda hadapi secara bertahap (self discovery dan self awareness).

Melalui kesadaran inilah, Anda dapat menilai apakah pikiran, sikap, perkataan,tindakan, keputusan hidup  yang Anda ambil benar, efektif, dan membangun atau sebaliknya justru merugikan diri Anda dan orang-orang yang Anda cintai. 

Konseling era sekarang ini sudah dijadikan sebagai gaya hidup. Jadi tak perlu malu untuk datang ke konselor, “mendiskusikan” tentang persoalan yang Anda hadapi dan mencari jalan keluar secara bijak yang pada akhirnya akan memberi pencerahan dan memperkokoh diri Anda. 

Jika demikian maka hari ini rasa malu untuk konseling sudah bisa dibuang jauh-jauh. Karena dengan menceritakan semua masalah Anda kepada konselor profesional maka Anda akan segera menemukan langkah-langkah tepat apa yang seharusnya Anda lakukan untuk keluar dari permasalahan tersebut.

Anda juga tidak perlu takut untuk menceritakan persoalan yang sedang Anda hadapi kepada konselor profesional. Karena apa? Karena konselor profesional akan menjaga dan menutup rapat-rapat rahasia Anda dan akan membuat Anda nyaman saat bertatap muka dengan mereka.

Jadi sudah saatnya Anda “menanggalkan baju malu” dan berjalanlah ke arah yang lebih baik. Rubah stigma yang salah tentang konseling yang selama ini ada dalam asumsi Anda. Serta mengatakan kepada diri Anda, bahwa konseling bukan membuka aib melainkan gaya hidup untuk mencari pencerahan serta memperkokoh diri.

Selain itu, Anda juga harus mengubah cara berpikir yang salah. Beranggapan ke konselor jika punya masalah.Anda bisa Konseling walau Anda tidak memiliki masalah.

Misal Anda ingin membuat perencanaan pernikahan Anda dengan orang yang Anda cintai yang tujuan akhirnya ingin menciptakan keluarga sejahtera. Atau Anda ingin rencanakan masa depan Anda lebih baik lagi. Merencanakan memiliki anak dengan Mengatur jarak kelahiran yang tepat dan lain sebagainya.

Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BkkbN) Provinsi Aceh sudah sekitar tiga bulan membuka Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera (PPKS) Bungong Jeumpa dengan delapan pelayanan konseling gratis yang diberikan. Anda bisa datang ke tempat ini tanpa ada keraguan lagi.

Di sini, di PPKS Bungong Jeumpa pelayanan yang diberikan yaitu pelayanan informasi Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB), konseling keluarga remaja dan remaja, konseling pranikah, konseling keluarga balita dan anak, konseling KB dan Kesehatan Reproduksi (KR), konseling keluarga lansia dan lansia, pembinaan usaha ekonomi produktif kelompok UPPKS, dan konseling khusus keluarga (Married Counseling).

PPKS Bungong Jeumpa beralamat di Jalan Peurada Utama (depan Komplek Bea dan Cukai), Desa Peurada, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Jadi tunggu apa lagi? Datang dan konsultasikan rencana masa depan Anda atau masalah yang sedang Anda hadapi. Karena konseling gaya hidup bukan membuka aib. (*)



Rahmat Nazillah
GenRe dan RANSEL
Lahirkan Generasi Emas Aceh dan Indonesia
Oleh Rahmat Nazillah
(Penulis adalah Juara 3 Duta Mahasiswa Genre Nasional 2012 dan Duta Mahasiswa GenRe BkkbN Provinsi Aceh 2012. Sekarang kuliah di Fakultas Ekonomi Unsyiah, Jurusan Prodi D3 Akuntansi)

INDONESIA, Tanah Air yang kita cintai ini merupakan salah satu negara yang cukup padat penduduknya di dunia. Angka kelahiran pun bertambah kian pesat dan jauh tidak sebanding dengan angka kematian.

Bahkan dengan bertambah banyaknya setiap penduduk di Indonesia membuat lapangan pekerjaan sulit untuk didapat, kesejahteraan keluarga pun menjadi sebuah mimpi yang sulit untuk diwujudkan. Hingga pada akhirnya rakyat miskin semakin bertambah dibarengi dengan tindak pidana yang semakin meluas.

Tidak memandang kecil atau besar, muda atau tua, semuanya bisa saja melakukan tindak pidana seperti mencuri, membunuh, korupsi dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, bahkan di Indonesia terutama di Provinsi Aceh yang kita bangga-banggakan dengan Serambi Mekkah ini free sex mulai merajalela dan meningkat pesat dibanding provinsi lain di Indonesia. Sungguh ironis memang, namun itulah kenyataan yang kita hadapi saat ini.

Kini pertanyaan yang sering timbul dibenak saya atau teman-teman semuanya adalah “mau dibawa kemana negeri kita ini jika moral penduduk negeri ini semakin bobrok?”.  

Mungkin sekarang kita hanya bisa menyalahkan pemerintah yang menurut kita “tidak intim” dengan rakyat yang sedang dipimpinnya. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa kita sendiri tak mau bergerak untuk melakukan langkah-langkah yang coba diberlakukan oleh pemerintah Indonesia?

Kini saatnya kita berbenah diri, negeri kita Indonesia tentu masih bisa kita selamatkan dengan cara memperbaiki moral anak-anak bangsa. Jika bukan kita yang mulai mengubahnya siapa lagi yang akan mengubah? Dan jika bukan kita yang bergerak siapa lagi yang akan mempersiapkan generasi emas Indonesia terutama di Aceh?

Apa yang perlu kita lakukan sekarang? Apa program yang tepat untuk memulai langkah kita menciptakan generasi emas dimasa mendatang? Saya mencoba mencari sebuah jawaban yang bisa kita jalankan bersama, dari seluruh elemen masyarakat tentunya tanpa terkecuali.

Hingga pada akhirnya terlintas dipikiran saya untuk menciptakan RANSEL (Rumah Anak Sehat dan seLamat). RANSEL merupakan sebuah program yang pernah saya paparkan sewaktu saya mengikuti ajang “Pemilihan Duta Mahasiswa GenRe Nasional 2012”.

Program yang saya jabarkan dari program GenRe (Generasi Berencana) miliknya BkkbN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) ini bertujuan menciptakan anak-anak dan remaja-remaja yang kompeten dan memiliki karakter positif yang cukup kuat, sehingga pada akhirnya mereka bisa meningkatkan kualitas seluruh penduduk yang ada di Aceh pada khususnya serta negara Indonesia ini.
Berbicara GenRe maka kita berbicara tentang masa akan datang, karena di program GenRe ini tentunya kita akan belajar bagaimana menjadi remaja yang bisa menggapai sebuah impian yang telah disiapkan sejak dini, baik itu pendidikan, pekerjaan, bahkan berkeluarga.

Perlu kita ketahui bahwa ada 5 tahapan yang harus kita lalui sebagai remaja GenRe yaitu :
                                                                 
                                                                     Belajar


                                                                   
                                                                    Bekerja



                                                                 Berkeluarga
 

      
                                                                 Bermasyarakat



                                                   Keluarga kecil bahagia sejahtera

Semua tahapan diatas jika bisa kita lakukan dengan baik maka akan menciptakan sebuah generasi emas yang menciptakan keluarga yang sejahtera. Sehingga keluarga keluarga sejahtera ini yang nantinya akan menciptakan negara Indonesia yang bersih dan makmur.
Namun perlu kita perhatikan bahwa 5 tahapan tersebut perlu kita kombinasikan dengan lingkungan kita, sehingga saya mencoba mengkombinasikan antara program GenRe dengan program RANSEL.

Untuk menciptakan Rumah yang bisa menciptakan remaja generasi emas sehingga memberikan ketenangan dan kesejahteraan (program RANSEL), kita perlu memperhatikan empat hal berikut :

1. Kita perlu mengaplikasikan delapan fungsi keluarga yang menjadi bagian dari program GenRe yaitu : fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi lingkungan.

2. Membentuk karakter positif sejak dini yang bisa kita lakukan dengan mengenalkan agama kepada anak, timang-timang (do da idi) saat menidurkan anak dengan melantunkan syair-syair bernuansa agama dan do’a, serta mengenalkan arti kehidupan kepada anak.

3. Menjadikan lingkungan kita (tempat tinggal atau tempat belajar) sebagai tempat untuk saling melindungi satu sama lainnya. Jika dalam lingkungan pedesaan biasanya kita masyarakat Aceh mengenal adanya “pageu gampoeng” yang terdiri dari aparatur desa, tuha peuttuha delapan, dan elemen pedesaan lainnya yang memiliki fungsi melindungi dan menjaga seluruh penduduk desa setempat.

4. Memberikan pendidikan yang layak bagi seluruh anak bangsa mulai dari pendidikan yang paling dini hingga menjadi sarjana.
Empat point dari program RANSEL ini diharapkan bisa membuat seluruh elemen masyarakat di Aceh pada khususnya serta di Indonesia dapat menggerakkan hati bersama-sama menjadikan negeri yang kita cintai ini lebih baik lagi ke depan.

Allah SWT berfirman dalam Alquran: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka”. (QS 13:11)

Kita masih punya waktu untuk mewujudkan Generasi Berencana yakni anak-anak Indonesia yang memiliki mimpi besar dan kemauan besar untuk terus maju dalam hal kebajikan. Saya jadi teringat pada sebuah kata bijak “aku adalah penguasa hidupku, dan aku adalah nahkoda sukmaku”.

Maksudnya adalah kehidupan ini kita yang tentukan kemana arah dan tujuannya, baik dan buruk itu adalah pilihan yang sebenarnya kita buat sendiri, maka dari itu mari kita arahkan kehidupan kita menuju gerbang kemenangan dengan program GenRe dan RANSEL, sehingga kita dapat menjadikan penduduk Indonesia yang bermoral hebat. (*)

Zarkasi Yusren

REMAJA KITA SIAPA YANG PEDULI?
Oleh Mohammad Zarkasy Yusren
(Penulis adalah Administrator PPKS Bungong Jeumpa)

Balap liar, seks bebas,  dan HIV/AIDS, menjadi beberapa masalah besar remaja kita, ditambah dengan masalah lainnya yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari PemerintahBagaimana nasib bangsa dan Negara ini 20 tahun mendatang jika remaja saat ini dalam berprilaku buruk? Remaja kita siapa yang peduli?

Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai sebanyak 237,6 juta jiwa, dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk (LPP) sebesar 1,49 persen per tahun (BPS,2010). Remaja merupakan bagian besar dalam angka tersebut, yaitu sekitar 60 persen lebih.

Seharusnya jumlah remaja yang besar itu menjadi asset berharga untuk bangsa Indonesi. Namun jika tidak dibina dengan baik, dan membiarkan masalah tersebut semakin besar, maka akan menjadi boomerang untuk pembangunan Indonesia.

Permasalahan remaja yang terjadi belakangan ini sudah pada tahap mengkhawatirkan, bukan hanya terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Bahkan juga dirasakan di Kota Banda Aceh dan kota lainnya di Indonesia. 

Antara lain permasalahan itu, yaitu balap liar, seks bebas,  dan HIV/AIDS. Ditambah dengan masalah lainnya yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah.

Permasalahan remaja sebenarnya bukan hanya berasal dari remaja itu sendiri, banyak faktor lain yang memperburuk seperti hubungan komunikasi yang buruk antara remaja dan orangtua. Orangtua disibukkan dengan berbagai hal sehingga kurang berkomunikasi dengan remaja yang masih dalam kondisi labil.


Orangtua harusnya dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi akibat pesatnya arus globalisasi yang menyentuh segala aspek kehidupan. Menumbuhkan kepercayaan remaja terhadap orangtua jelas harus dilakukan dengan memberikan contoh yang baik.

Kondisi lingkungan yang semakin individual. Kearifan lokal yang ada hampir diseluruh Indonesia terutama di Aceh adalah budaya saling ingat mengingatkan. Tidak melihat anak dari siapa, namun masyarakat selalu menegur bahkan bertindak ketika seorang anak melakukan kesalahan namun dilakukan dalam batasan wajar. Akhir-akhir ini kepedulian sepertinya terus menghilang dan bahkan masyarakat terkesan apatis.

Kondisi sekolah yang mengedepankan nilai akademis dengan kompetensinya yang sangat dirasakan. Nilai-nilai moral kebaikan yang harusnya ditanamkan disekolah sudah mulai ditinggalkan dengan lebih mengedepankan penyampaian ilmu pengetahuan tanpa menyampaikan nilai-nilai kebaikan serta norma-norma yang akan membentuk moral remaja.

Lalu siapa yang salah dengan semua kondisi ini? Sangatlah tidak bijak jika hanya mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Saat ini yang dibutuhkan adalah siapa yang peduli. Kepedulian bisa ditunjukkan dalam berbagai hal dengan skala yang tidak terbatas. Sangat tidak etis ketika masalah ini semakin bertambah besar dan kita hanya duduk manis menjadi penonton.

Di PPKS Bungong Jeumpa Perwakilan BkkbN Provinsi Aceh yang memberi pelayanan konseling gratis untuk memecahkan persoalan yang terjadi pada remaja dan keluarga yang memiliki remaja. Mengkonsultasikan segala permasalahan yang dihadapi dan mencari jalan keluar yang terbaik dari permasalahan itu.

Rumah konseling yang dibangun Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BkkbN) diharapkan dapat membantu remaja menyelesaikan masalahnya dan juga membantu orangtua yang memiliki anak remaja dalam menciptakan komunikasi yang efektif di keluarga.

Selain itu PPKS Bungong Jeumpa memiliki tujuh pokok kegiatan lainnya yaitu, Konseling keluarga balita dan anak, konseling keluarga lansia dan lansia, konseling KB dan kesehatan reproduksi, konseling pra nikah, konseling khusus keluarga serta kami juga menyediakan data  kependudukan dan keluarga berencana untuk Anda yang membutuhkan.

Untuk bisa mendapatkan pelayanan konseling gratis tersebut, Anda bisa menghubungi di 08116810647 atau juga langsung kunjungi kami di alamat Jalan Perada Utama depan komplek Bea Cukai. Email, facebook, twitter di ppks.aceh@gmail.com.

PPKS Bungong Jeumpa mengedepankan profesionalitas dan juga menyediakan tenaga yang ahli dibidangnya seperti dokter, psikolog, bidan, dan konselor. Semua pelayanan yang diberikan PPKS Bungong Jeumpa dilakukan GRATIS dan dengan menjaga kerahasiaan klien. (*)

Imam Gunanjar SE

AKREDITASI RENDAH, PENGANGGURAN TINGGI
Oleh: Imam Gunanjar SE
(Penulis merupakan mahasiswa dari Pogram Pasca Sarjana Magister Manajemen Univesitas Syiah Kuala dan petugas harian di PPKS Bungong Jeumpa Aceh)

Ketika Anda kuliah, Anda akan sering mendengar akreditasi. Karena apa?! Karena akreditasi merupakan lebel  suatu kampus atau perguruan tinggi (PT) yang menandakan apakah kampus itu bergensi atau tidak. 

Sedangkan pengangguran sering lebelkan atau dengan gurauan, setelah Anda menamatkan kuliah dan belum memiliki pekerjaan.
“Selamat ya menjadi pengangguran,” begitu ucapan selamat dalam canda yang sering terlontar dari teman-teman Anda, usai Anda diwisuda.

Nah, apa pengaruhnya akreditasi dengan pengangguran? Berdasarkan data statistik tahun 2013 Tingkat Penganguran Terbuka (TPT)  provinsi Aceh pada bulan Februari 2013 mencapai 8,38 persen. Angka tersebut lebih rendah 0,72  dibandingkan dengan TPT  Agustus 2012 lalu yang mencapai 9,10 persen.

Namun masih lebih tinggi 0,50 persen bila dibandingkan dengan TPT Februari 2012 yang besarannya hanya 7,88 persen.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh Hermanto
(http://portal.radioantero.com) mengatakan, jumlah angkatan kerja di Provinsi Aceh pada Februari 2013 mencapai 2,122 juta orang, atau bertambah sekitar 144 ribu orang dibandingkan dengan angkatan kerja pada Agustus 2012.

Sedangkan jumlah penduduk Aceh yang bekerja hingga Februari 2013 mencapai 1,994 juta orang, “Ini bertambah 145 ribu orang bila kita bandingkan dengan keadaan Agustus tahun 2012,” kata Hermanto.

Dari data itu menurut Hermanto jumlah pengangguran di Aceh pada Februari 2013 mengalami penurunan sekitar 1.000 orang bila dibandingkan dengan Agustus 2012. Padahal setiap tahunnya jumlah lulusan dari perguruan tinggi baik itu lulusan Diploma ataupun Sarjana semakin tinggi.

Tetapi jumlah lowongan kerja yang tersedia sedikit, sehingga dapat meningkatkan jumlah pengganguran di provinsi terujung di Pulau Sumatera ini.

Tahun ini, Pemerintah Aceh membuka CPNS 2013. Sayang CPNS yang digadang-gadangkan akan memecahkan persoalan pengangguran di Aceh ternyata belum cukup untuk mengurangi tingkat pengangguran di provinsi yang sebenarnya sangat kaya sumber daya alamnya ini.

Mengapa? Karena tenaga kerja yang terserap akan sangat sedikit dari jumlah pengaguran yang ada. Apalagi dengan diberlakukannya untuk setiap pelamar harus berasal dari perguruan tinggi minimal yang berakreditasi B.

Sementara masih banyak perguruan tinggi swasta maupun negeri di Aceh yang berakreditasi C.  Sehingga lulusan dari perguruan tinggi yang berakreditasi C tersebut tidak dapat melamar untuk menjadi CPNS apalagi menjadi PNS.

Hal ini jelas dapat memperparah keadaan dimana tujuan pemerintah membuka CPNS itu tidak efektif dalam mengurangi penganguran itu sendiri.

Untuk itu menurut saya perlu perhatian dari Pemerintah Aceh untuk menumbuhkan wirausahawan muda guna menekan tingkat pengangguran di Aceh yang jumlahnya semangkit meningkat bukan semakin menurun.

Solusinya, dengan cara melatih dan memberi keterampilan ketika di bangku perkuliahan. Cara ini dapat memotivasi dan mendorong mahasiswa ketika lulus dari perguruan tinggi menjadi pengusaha muda dengan menciptakan lapangan kerja baru.

Selain itu Pemerintah Aceh bekerjasama dengan perbankan, perguruan tinggi (baik swasta maupun negeri), dan instansi terkait sudah seharusnya berupaya memberikan bantuan modal kerja kepada wirausaha muda di negeri ini.

Sehingga usaha yang sudah atau sedang dijalani semakin berkembang. Dengan demikian jumlah tenaga kerja yang diserap akan semakin bertambah.

Jika hal ini dilakukan Pemerintah Aceh maka akan membantu memecahkan persoalan angka pengangguran yang semakin tahun semakin meningkat jumlahnya.

Jadi sudah saatnya di Aceh, penganggurannya tidak lagi bergantung dan menunggu CPNS dibuka, tetapi bagaimana memikirkan menciptakan lapangan kerja baru. Dan ini tidak terlaksana jika tidak ada campur tangan dari Pemerintah Aceh. (*)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar